Cerita Lain Dibalik Indahnya Pantai Rajegwesi, Banyuwangi

Nelayan di Pantai Rajegwesi, Sumber: banyuwangibagus.com
Ekspedisi Jawadwipa

Pantai Rajegwesi dengan deburan ombak menyentuh kaki yang haus berpetualang, buih-buih air menggelitik pelan setiap kulit yang bersentuhan. Hembusan angin membelai deretan pohon yang berdiri tegak di atas tebing-tebing. Gradasi warna biru air laut, warna hijau pepohonan dan pasir putih kecoklatan bersatu memanjakan mata setiap pengunjungnya.

Sesekali datang perahu nelayan yang baru sampai dari perjalanan melautnya dengan mengangkut banyak ikan. Di sisi lain ada pula beberapa warung makan yang menyajikan aneka ikan bakar. 

Pesona Pantai Rajegwesi tak boleh dilewatkan bila Sobat DC berkunjung ke Banyuwangi. Sembari menikmati keindahan dan nikmatnya ikan bakar dengan sambal kecap yang sedap, tim Ekspedisi JawaDwipa bercakap dengan pemilik warung mengenai kejadian tsunami yang pernah meratakan bangunan di pesisir pantai ini pada tahun 1994. Sang pemilik warung berkata, dahulu rumahnya juga terhempas gelombang tsunami. Ia menyarankan kami untuk menemui mantan RW Dusun Krajan, Desa Sarongan yang bernama Matsujak. 

Dengan berjalan kaki, kami mengunjungi rumah Matsujak yang letaknya tak terlalu jauh dari warung makan tempat kami bercakap tadi. Selepas mengucap salam, sosok bapak berusia 56 tahun keluar dari rumah berwarna kuning gading dan menyambut baik kedatangan kami. Cerita pun dimulai.

Cerita Lain Dibalik Indahnya Pantai Rajegwesi, Banyuwangi

Berawal dari malam yang dirasa begitu sunyi olehnya, Matsujak dan keluarganya sedang tertidur pulas. Bunyi hentakan yang menimpa pintu rumahnya seketika membuat Matsujak kaget dan terbangun. Ketika matanya terbuka, sekeliling rumahnya sudah terendam air, masuk dari jebolan pintu yang rusak dihantam pondasi rumah tetangganya. Pria berumur 56 tahun ini, dengan sigap langsung menggendong anaknya dan membangunkan istrinya untuk segera keluar rumah.

Ia masih ingat betul kejadian ini terjadi pada pukul 02.00 WIB di hari Jumat Pon, 2 Juni 1994. Matsujak bingung dengan apa yang dilihat oleh mata kepalanya sendiri. ‘Bagaimana bisa air sebanyak ini masuk ke dalam rumahnya?’ Begitu pikirnya. Rasa penasaran membuatnya mencicipi air laut yang sudah tergenang di sekelilingnya. Setelah dicicipi, air tersebut ternyata rasanya asin bercampur pahit. 

Setelah mengetahui hal tersebut,  Matsujak langsung menyimpulkan bahwa air berasal dari laut. Seketika ia menggendong putrinya yang masih berumur 5 tahun bersama istrinya ia berlari menyelamatkan diri menjauhi pantai. Ketika sampai di area yang lebih tinggi, Matsujak memukul kentongan sebagai tanda bahaya, sebab kala itu banyak masyarakat yang masih tertidur. 

Malam pun sirna digantikan dengan munculnya sinar matahari. Kala itu terlihat jelas sisa-sisa tsunami yang terjadi. Beberapa bukti terjadinya tsunami bisa dilihat dari tinggalan sampah yang menyangkut di atas pohon yang tingginya 7-8 meter. Matsujak menyimpulkan, ketinggian tsunami kala itu sama dengan tinggi sampah yang tersangkut di pohon, bahkan ada kemungkinan bisa melebihi itu.Tsunami yang menghantam daerah Pantai Rajegwesi menewaskan 47 orang tewas dan terdapat 14 orang yang sampai saat ini belum ditemukan. Warga desa yang terdampak tsunami mengungsi di kantor pemerintahan yang tidak terpakai selama 3 bulan.

pantai rajegwesi
Gambar 1. Pantai Rajegwesi, Desa Sarongan, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Foto: Tim Ekspedisi Jawadwipa

Proses relokasi berjalan dengan cukup baik, semua rumah yang hancur dibangun kembali di lokasi yang berbeda. Presiden pun turun ke wilayah yang mengalami kerusakan parah, tepatnya di Dusun Pancer, Desa Pesanggaran. 

Hari demi hari telah berlalu semenjak kejadian tsunami yang menghantam pantai rajegwesi di tahun 1994. Warga Dusun Krajan mengabadikan ingatan kejadian bencana tsunami kala itu dengan rutin menggelar pengajian setiap Jumat Pon. Jamaah dari tiga masjid yang ada disana bergabung menjadi satu bila Jumat Pon tiba. Mereka bersama sama memanjatkan doa untuk para korban tsunami yang meninggal dan belum ditemukan hingga kini. Tradisi mengaji setiap Jumat Pon menjadi salah satu perwujudan cara masyarakat merawat ingatannya dan juga sebagai media perluasan memori kolektif mengenai bencana di masa lalu. 

Pengalaman menghadapi bencana di masa lalu, membuat Desa Sarongan menjadi banyak belajar. Hal itu kami temukan dalam cerita Agus Salim Afandi, Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana Desa Sarongan. Pria yang kerap disapa Afan mengatakan tsunami yang terjadi pada tahun 1994 terkena tebing di sisi timur dan sisi barat, sementara desa ini merupakan area sehingga ombak terkumpul dan menyapu area Pantai Rajegwesi.

Dari pengalaman menghadapi bencana besar beberapa puluh tahun yang lalu membuat berbagai pihak sadar bahwa Desa Sarongan memiliki ancaman bencana yang besar. Upaya pengurangan risiko bencana terus dikembangkan mulai dari pembentukan jalur evakuasi, titik kumpul, serta pemetaan area rawan bencana yang dilakukan dengan melibatkan penuh masyarakat. Usaha berbuah manis, desa ini pun memenangkan lomba Desa Tangguh Bencana yang diselenggarakan oleh BNPB.

Baca juga: Desa Citimun yang Dulu Bernama Tjitimbun

Hembusan angin membawa kami kembali menikmati suasana senja di Pantai Rajegwesi. Dahulu pantai indah ini pernah mengalami bencana tsunami. Warga Desa Sarongan pasti tak akan rela bila keindahan ini terhapus seketika oleh karenanya mereka bersiapsiaga menghadapi ancaman bencana yang ada. Perjalanan terasa berarti bila kita tak hanya melihat indahnya pemandangan saja, Sobat DC harus coba berlibur menikmati alam dan bercengkrama dengan warga untuk mencari tahu potensi lain yang tersembunyi dibalik sebuah destinasi wisata.

Penulis: Lien Sururoh