Perairan Kehidupan

PUBLISHED

Disasterchannel.co,- Tulisan ini datang dari Baasitha Nurindah, ia adalah peserta peringkat ke-delapan dalam lomba menulis bertema “Aku dan Sungai” yang diadakan oleh disasterchannel.co. Dalam tulisannya, Baasitha menceritakan mengenai pencemaran yang terjadi di berbagai Sungai. Mari kita simak cerita Baasitha dalam tulisan berikut:

Bicara tentang perairan, bicara tentang kehidupan. Sebagaimana pepatah ‘hiduplah  bagaikan air’. Aku tidak yakin kepada para penganut kalimat bijak itu memahami makna  secara dalam atau hanya luaran. Hidup bagaikan air, mengikuti aliran sungai, mengalir apa  adanya. Apakah mereka tidak memahami bahwa air yang mengalir itu banyak cobaannya.  Dewasa ini perjuangan sebagai air lebih berat daripada menjadi manusia. Mereka harus  bertahan ketika diserang bahan kimia berbahaya dari limbah pabrik ataupun limbah rumah  tangga. Bersabar dicela ketika tak kunjung tiba dan membuat lahan kekeringan. Kuat ketika dimaki ketika memberi ‘lebih’ dan malah membanjiri. 

Apapun jasanya, bagi manusia mereka tetap tidak berharga. Jangan tersinggung, karena  menelan kenyataan memang tidak pernah menyenangkan. Buktinya banyak sekali manusia  yang acuh tak acuh akan kesehatan air. Mulai dari mencemari sumber air, hingga membuang buang air bersih. Oleh orang berduit hingga para ekonomi sulit. Tingkat kesadaran yang terkikis dan aksi kepedulian nyata yang krisis menjadikan air sebagai zat paling terlantar  se-dunia. 

Tidak perlu berteriak pecinta alam jika unsur terbesar dari alam pun kita tidak tahu.  Pengalamanku mendaki Gunung Semeru tahun 2019, pulang dengan oleh-oleh sampah di pundak. Tidak hanya ditemukan di trek, namun juga di Sumber Air Kalimati penuh dengan  sampah shampoo sachet. Tidak habis pikir mengapa juga dia harus keramas ketika mendaki  gunung. Kisah lebih parah malah saat aku mendaki Gunung Rinjani tahun 2020, bermalam di Plawangan Sembalun memang indah, namun bukan berarti bebas sampah. Tisu basah  bertebaran, sampah plastik mewarnai jalan, sampah organik pun hampir tertanam. Pendaki  tidak sadar bahwa sampah itu akan terbawa air hujan untuk turun ke sumber mata air terdekat.  Lupa bahwa di dunia ini ada yang namanya proses berantara yang tak kasat mata. 

Berbeda keadaan, berbeda pula pengalaman. Dahulu ketika masih duduk di bangku  sekolah dasar, aku bermain di sungai dengan tenang dan gembira. Menjaring ikan-ikan  bermodal kaos di badan. Menangkap udang kecil berbekal kejelian mata dan kecepatan tangan.  Air masih jernih tanpa noda. Mengalir anggun tanpa jeda. 

Namun kini, semua berubah ketika negara api menyerang. Tidak, ini lebih bahaya dari api. Nafsu membakar kepedulian manusia  lebih dari apapun. Sungai yang dulu menjadi taman bermainku hangus, menjadi hitam legam  tak terkira. Jika hujan datang, dia menguap dan menunjukkan seberapa ternoda dia. Jika  kemarau menghampiri, lengket bukan main, lebih kelat dari Susu Kental Manis (SKM) di pasaran. Belum lagi topping jeli rumput laut di permukaannya, melengkapi rupa sungaiku yang  eksotis.. Tidak lupa aroma seksi dari sungai menjilat udara sekitar. Sungguh sedap bukan? Jika fase dewasa sudah kamu injak, jangan lupa berpikir dan berlaku bijak. 

Satu tahun aku ditempatkan di pelosok Sulawesi. Desa terpencil tempat aku mengabdi dan mengais rezeki.  Maaf, maksudku bukan mengais pundi-pundi namun berbakti pada negeri. Kala itu aku baru  merasakan sulitnya mendapat air bersih. Hujan jarang menapakkan kaki, sedang mesin PDAM  (Perusahaan Daerah Air Minum) lebih sering mati. Ditambah pengetahuan tentang sampah di  masyarakat belum teredukasi. Banyak orang merasa tidak berdosa membuang sampah  sembarangan. Sesuka hati yang penting senang. 

Desa tempat tugasku, Towayu memang tidak  memiliki sungai, namun kami berada di posisi paling atas. Sehingga tentu saja air akan mengalir  ke desa sebelah, desa temanku. Sebagai guru yang (masih berusaha menjadi) baik, aku  mendidik anak-anak untuk membuang sampah pada tempatnya, sebagaimana kamu  meletakkan pakaian di bagian tubuh yang tepat. 

Aku meyakini bahwa menjaga sungai bukan  hanya dilakukan oleh orang-orang yang tinggal di tepiannya, namun dari yang berada di  atasnya, atau bahkan dari yang tidak bersentuhan langsung dengannya. Aku menjelaskan ke  para orang dewasa di rapat desa bahwa penyebab desa kami selalu banjir walau berada diatas  bukit ialah karena sanitasi yang kurang baik dan sampah yang bertaburan tidaklah sedikit. Hal  itu melahirkan anggaran pembuatan sanitasi dan tempat sampah umum di penjuru desa. 

Di lain kesempatan, aku diundang pada agenda perkemahan sekolah. Untuk sampai ke  desa tersebut, hanya ada satu jalan yakni jalur perairan dan harus melawan arus. Satu jam  mengarungi sungai dengan Katinting (perahu kecil) membuatku cukup pusing, namun semua  penat hilang ketika anak-anak dari sekolah tersebut menyambut kami di tepi sungai dengan  lambaian tangan dan teriakan membahagiakan. 

Setelah turun dari Katinting, aku dan para guru  undangan diajak ke Perumahan Sekolah untuk beristirahat. Di malam harinya aku ikut mengisi  sesi, karena sumber daya alam mereka adalah Sungai Moliulo, maka aku memanfaatkan hal  tersebut. Aku menyediakan tiga ember berisi air. Pada ember pertama hanya berisi air, sedangkan  ember kedua ku minta dua orang siswa menambahkan dedaunan dan ranting pohon. Pada  ember ketiga, ku minta semua siswa menambahkan apapun yang mereka mau untuk ditaruh  dalam ember. 

Diibaratkan Sungai Moliulo, dahulu ketika semua orang peduli terhadap alam,  mungkin sungai sebersih ember pertama. Waktu berjalan dan beberapa orang tidak acuh pada  sungainya, maka air akan tercemar sedikit. Sedangkan nanti di kemudian hari, jika semua orang  ikut serta dalam memasukkan sampah ke sungai, pemandangan ember ketiga lah yang akan  dilihat. Hingga akhirnya manusia menyadari bahwa tidak ada lagi yang bisa mereka pakai.

Kisahku dengan sungai bisa jadi tidak seindah milikmu. Kontribusiku terhadap  Kesehatan air dan sungai juga bisa saja lebih payah darimu. Namun aku percaya, langkah kecil adalah pintu gerbang menuju perubahan besar.

Photo: id.pngtree.com