Peran & Tantangan Sektor Privat dalam Bencana

PUBLISHED

Disasterchannel.co – Kemitraan dan sinergi menjadi kata kunci ketika kita membicarakan tentang kolaborasi multi-pihak terhadap kebencanaan, termasuk di dalamnya adalah keterlibatan sektor privat. Ada begitu banyak potensi yang bisa digali dengan melibatkan dunia usaha terkait dengan upaya pengurangan risiko bencana (PRB) maupun manajemen bencana. Namun juga tak sedikit tantangan yang kita hadapai dalam mengoptimalkan peran-peran strategis mereka untuk bekerja sama.

Penekanan terhadap keterlibatan penuh seluruh sektor, baik itu organisasi pemerintah, sektor privat, masyarakat sipil, media, dan akademisi – tidak hanya telah ditekankan pada Kerangka Aksi Hyogo, tetapi kembali mendapatkan penegasan pada Kerangka Kerja Sendai untuk PRB di mana 15 tahun ke depan pengurangan risiko dan kerugian akibat bencana menjadi harapan utama yang hendak diraih. Target-target pun menjadi lebih terukur. Selain pengurangan angka kematian dan orang yang terdampak, target juga menyasar pada kerugian ekonomi, kerusakan infrastruktur, peningkatan strategi, kerja sama internasional, serta cakupan dan akses terhadap EWS (early warning system). Kali ini, upaya yang hendak yang dibangun menjadi jauh lebih konkrit untuk mempererat kerja-kerja kolaboratif, termasuk menggalang dukungan dan mengintegrasikan sektor privat yang terdiri dari para pelaku usaha di banyak sektor.

Kita melihat bahwa sektor privat tak hanya menjadi pihak yang akan terdampak dari peristiwa bencana alam, melainkan pula menyoroti bahwa peran mereka yang optimal dapat menjadi solusi dalam mengoptimalkan upaya PRB yang sudah dibangun atau hendak dikembangkan lebih lanjut. Tentu saja bagi sektor privat sendiri, isu kebencanaan akan mempengaruhi secara langsung bagaimana investasi dan operasional bisnis berjalan, antara lain topik terkait keberlanjutan profit (sustainable profit), rantai pasok (supply chain), keamanan (safety), hingga pencitraan (image and branding). Keterkaitan antara aspek kebencanaan dan pertumbuhan bisnis adalah suatu korelasi yang positif. Sektor privat penting untuk lebih jauh terlibat karena ada peluang risiko bisnis ketika bicara perihal kebencanaan. Maka, sektor privat pun membutuhkan suatu kerangka yang perlu dibangun bagi pihak lain untuk mendukung mereka, begitu pun sebaliknya di mana mereka mempunyai mekanisme atau ruang untuk terlibat secara aktif dan tersinergi.

Foto : PESONA.TRAVEL – Gedung menara 46 BNI DKI Jakarta

Peran Strategis Pelaku Usaha

Keterlibatan sektor privat memang perlu terus dibangun. Ini bukan hal baru dan sebetulnya telah mulai banyak diawali oleh berbagai pelaku usaha, terutama perusahaan multi-nasional dalam melihatnya sebagai peluang. Di Indonesia platform tersebut banyak muncul dalam format filantropi. Banyak perusahaan kemudian mendirikan sebuah yayasan yang salah satunya adalah memainkan peran dalam keterlibatan mereka terhadap kebencanaan, mulai dari sebelum, saat, dan sesudah bencana terjadi.

Umumnya, kita dapat merinci peran dunia usaha yang kini tengah mulai marak dilakukan terkait bencana, antara lain saat pra-bencana adalah mendorong rencana dan kerja kesiap-siagaan (business continuity plan); memberdayakan masyarakat sekitar melalui peningkatan kapasitas; mengupayakan pencegahan bencana; melakukan mitigasi struktural; dan membangun kerja sama dengan berbagai pihak. Sementara pada saat terjadi bencana, yaitu mengupayakan penyelamatan tenaga kerja dan aset perusahaan; merespon tanggap darurat; dan memobilisasi bantuan, baik itu pengerahan sumber daya, relawan, dan peralatan atau infrastruktur pendukung. Usai bencana terjadi, peran-peran yang dilakukan adalah membuat rencana aksi dan pelaksanaan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi.

Namun, platform terhadap optimalisasi peran dunia usaha tak terbatas pada filantropi, tetapi juga mendorong produk inovatif sebagai bagian dari bisnis (innovative core business) di mana perusahaan mulai berinovasi dalam riset dan teknologi modern untuk menghadirkan produk-produk massal dan komersial terkait bencana. Hal ini memang belum begitu menonjol di Indonesia, meski begitu telah banyak menjadi sebuah arus utama bagi sejumlah negara maju dengan potensi bencana yang relatif besar, misalnya Jepang. Banyak perusahaan di Jepang memiliki fokus bisnis (core business) yang bergerak di bidang bencana. Mereka melihat bencana adalah juga bagian dari peluang bisnis, misalnya aneka bahan atau material bangunan anti-gempa hingga produk-produk yang ramah bencana.

Selain membentuk yayasan (foundation), LSM (NGO), atau trust, sektor privat dapat mengembangankan produk inovatif sesuai dengan bisnis dan keahlian mereka masing-masing. Tentu saja tidak menutup kemungkinan untuk melakukan kemitraan atau kerja sama dengan berbagai pihak melalui join projects atau bentuk lainnya. Maka, peran sektor privat menjadi tak terbatas terhadap jalinan kemitraan (community resillience partnership), terutama dalam membangun ketangguhan masyarakat, melainkan juga menciptakan iklim yang positif terhadap bisnis di bidang kebencanaan. Sehingga tak lagi melihat bencana sebagai momentum ajang untuk menyalurkan bantuan sebagai pencitraaan belaka, tapi menjadi bagian dari investasi dan operasional bisnis. Dengan kata lain, membuka peluang bisnis baru dengan banyak pihak (collaborative efforts to enhance new potential busines in disaster/disaster as new and creative business)!

Tantangan yang Dihadapi

Namun hal tersebut bukan berarti tak menghadapi beragam tantangan. Terkadang, upaya atau inisiatif yang diinisiasi oleh sejumlah perusahaan, kurang mendapat respon yang positif dari pihak-pihak lain, termasuk pemerintah. Pada situasi tertentu, hal sebaliknya juga bisa terjadi di mana pemerintah yang giat melakukan engagament justru kerap kurang mendapat tanggapan dari sektor privat. Begitu pun dengan pihak lain, seperti masyarakat sipil, media, dan akademisi. Ada kesenjangan (gap) yang tampak dari persoalan ini.

Secara umum, sektor privat menghadapi tantangan pada perihal sistem atau regulasi yang belum suportif dalam mendorong atau memberikan kemudahan terhadap upaya atau inisiatif yang dilakukan serta belum mengakomodir kebutuhan terhadap practical tool yang mampu memberikan acuan atau referensi dan bisa mereka adaptasi pada konteks Indonesia atau sesuai dengan bisnis mereka. Situasi tersebut turut memberikan iklim yang kurang menginspirasi sektor usaha di Indonesia untuk terlibat lebih jauh (enagage) pada kerja-kerja PRB.

Sementara di kalangan sektor privat sendiri, ada tantangan di antara lembaga usaha yang cenderung masih bekerja sendiri atau sektoral, sehingga belum ada koordinasi atau sinergi yang kuat di antara lembaga usaha. Tentu saja tantangan-tantangan yang dihadapi dunia usaha bukanlah hal yang lantas menghambat upaya atau inisiatif yang mereka lakukan. Sebagian dari mereka terus melangkah ke depan di tengah situasi yang mungkin belum mendukung secara penuh. Sementara sebagian yang lain, tentu perlu terus didorong. Dalam hal ini, terdapat kebutuhan untuk bisa mempertemukan sektor privat untuk berdiskusi lebih lanjut tentang hal-hal yang menjadi perhatian dalam mengikutsertakan mereka pada gerbong yang sama terhadap upaya PRB bersama pihak-pihak lain. Diperlukan suatu ruang yang mampu memberikan partisipasi lebih terbuka dan luas bagi sektor privat untuk bicara (promoting participation) serta mendorong mereka untuk juga mengembangkan strategi terhadap model atau perangkat seperti apa yang perlu diformulasikan bersama (encouraging private sector to develop strategy and tools). Dan tak menutup kemungkinan terhadap peluang-peluang lain sebagai solusi, seperti seberapa perlukah membentuk sebuah private sector platform untuk PRB? Jika memang diperlukan, maka proses apa yang perlu dijalani dan hal-hal apa yang hendak dituju. (DM)