Rancag Kramat Karem: Kearifan Lokal Warga Jakarta Mengabadikan Bencana Letusan Krakatau 1883

PUBLISHED

Disasterchannel.co,- Tepat sebelum diperingatinya hari kesiapsiagaan bencana tanggal 26 April, Gunung Anak Krakatau yang semula berstatus waspada pada hari Senin (25/04/2022) berubah statusnya dari Waspada menjadi Siaga. Sebelumnya, Gunung Anak Krakatau juga mengalami erupsi di tahun 2018 yang menyebabkan tsunami di Selat Sunda. 

Kegiatan vulkanik Gunung Anak Krakatau dalam catatan sejarah terjadi sejak lahirnya pada 11 Juni 1930 hingga 2000, dalam periode ini telah mengadakan erupsi lebih dari 100 kali. Dari sejumlah letusan tersebut, pada umumnya titik letusan selalu berpindah-pindah di sekitar tubuh kerucutnya. Waktu istirahat berkisar antara 1 – 8 tahun dan umumnya terjadi 4 tahun sekali berupa letusan abu dan leleran lava. 

Sejarah Gunung Anak Krakatau tidak bisa dipisahkan dengan kisah Gunung Anak Krakatau. Cerita tentang Gunung Krakatau tidak akan ada habisnya. Ceritanya selalu mendunia, setiap kisahnya sungguh mencampur baur seluruh emosi dalam jiwa. Goresan emosi dalam kejadian bencana akibat erupsi Gunung Krakatau bahkan dapat menjadi sebuah inspirasi untuk berkarya.  

Memori kolektif mengenai bencana erupsi Gunung Krakatau terabadikan dalam sebuah karya warga ibu kota dengan segala kearifan lokalnya. Rancag menjadi salah satu kearifan lokal bagi warga Jakarta menuangkan rasa dalam bentuk karya. Kata rancag berarti irama cepat dan rancagan dapat juga diartikan penyajian lagu dan musik dengan irama cepat. Pengertian lain rancag, yaitu tuturan atau juga disebut pantun berkait. Pengalaman menghadapi bencana erupsi Gunung Krakatau begitu lugas dituangkan dalam rancag yang berjudul Kramat Karem. Syair lagu “Kramat Karem” dibuat oleh seorang seniman anonim. Salah satu penggalan syair berbunyi, “Emak, Bapak Si Nona mati; sayang disayang tiap malam saya tangisin; Kramat Karem ada lagunya.”

Pada Desember 2015, seniman Betawi bernama Yahya Andi Saputra, mencoba mereka ulang pantun lagu tersebut. Berikut penggalan pantun mengenai bencana letusan Gunung Krakatau tersebut:

Bismillah ada di permulaannya

Serenta juga kalam hikemat

Sembahlah Tuhan yang kuasa

Supaya redo dunia akherat

Pergilah pergi runtun beruntun

Jalanan basah jembatan batu

Inilah ini pantun memantun

Mengasih inget riwayat dulu

Kedat-kedut mata memikat

Matanya dua tapinya merem

Disebut juga ada keramat

Ada namanya keramat karem

Rasanya bingung menabuh bedug

Sambil berdiri memancing lindung

Katanya gunung pada meledug

Abunya mumbul gulung bergulung

Cemara panjang bersih mengilat

Bawa ditenteng iket gurita

Ada antara masih melihat

Sigranya dateng gelap gulita

Wira-wiri kudanya lari

Pake bedak darilah pagi

Ilahi robbi gelapnya ini

Sampe tidak melihat lagi

Tergambar dalam syair, saat itu Batavia (sekarang Jakarta) begitu gelap. Semua pandangan mata tertutup oleh abu vulkanik pekat yang berasal dari letusan Gunung Krakatau. Bisa dibayangkan betapa besarnya bencana yang dialami kala itu. Cerita ini dapat kita nikmati sekaligus menjadi refleksi untuk menghadapi ancaman bencana gunung api. (LS)

Sumber:

https://dapobas.kemdikbud.go.id/homeshow=isidata&id=920

https://archive.netralnews.com/singkapsejarah/read/199015/tsunami-dan-hujan-abu-di-jakarta-dikira-kiamat-semoga-tak-terulang

Photo: kebudayaan.kemdikbud.go.id