Disasterchannel.co,- Tepat sebelum diperingatinya hari kesiapsiagaan bencana tanggal 26 April, Gunung Anak Krakatau yang semula berstatus waspada pada hari Senin (25/04/2022) berubah statusnya dari Waspada menjadi Siaga. Sebelumnya, Gunung Anak Krakatau juga mengalami erupsi di tahun 2018 yang menyebabkan tsunami di Selat Sunda.
Kegiatan vulkanik Gunung Anak Krakatau dalam catatan sejarah terjadi sejak lahirnya pada 11 Juni 1930 hingga 2000, dalam periode ini telah mengadakan erupsi lebih dari 100 kali. Dari sejumlah letusan tersebut, pada umumnya titik letusan selalu berpindah-pindah di sekitar tubuh kerucutnya. Waktu istirahat berkisar antara 1 – 8 tahun dan umumnya terjadi 4 tahun sekali berupa letusan abu dan leleran lava.
Sejarah Gunung Anak Krakatau tidak bisa dipisahkan dengan kisah Gunung Anak Krakatau. Cerita tentang Gunung Krakatau tidak akan ada habisnya. Ceritanya selalu mendunia, setiap kisahnya sungguh mencampur baur seluruh emosi dalam jiwa. Goresan emosi dalam kejadian bencana akibat erupsi Gunung Krakatau bahkan dapat menjadi sebuah inspirasi untuk berkarya.
Memori kolektif mengenai bencana erupsi Gunung Krakatau terabadikan dalam sebuah karya warga ibu kota dengan segala kearifan lokalnya. Rancag menjadi salah satu kearifan lokal bagi warga Jakarta menuangkan rasa dalam bentuk karya. Kata rancag berarti irama cepat dan rancagan dapat juga diartikan penyajian lagu dan musik dengan irama cepat. Pengertian lain rancag, yaitu tuturan atau juga disebut pantun berkait. Pengalaman menghadapi bencana erupsi Gunung Krakatau begitu lugas dituangkan dalam rancag yang berjudul Kramat Karem. Syair lagu “Kramat Karem” dibuat oleh seorang seniman anonim. Salah satu penggalan syair berbunyi, “Emak, Bapak Si Nona mati; sayang disayang tiap malam saya tangisin; Kramat Karem ada lagunya.”
Pada Desember 2015, seniman Betawi bernama Yahya Andi Saputra, mencoba mereka ulang pantun lagu tersebut. Berikut penggalan pantun mengenai bencana letusan Gunung Krakatau tersebut:
Bismillah ada di permulaannya
Serenta juga kalam hikemat
Sembahlah Tuhan yang kuasa
Supaya redo dunia akherat
Pergilah pergi runtun beruntun
Jalanan basah jembatan batu
Inilah ini pantun memantun
Mengasih inget riwayat dulu
Kedat-kedut mata memikat
Matanya dua tapinya merem
Disebut juga ada keramat
Ada namanya keramat karem
Rasanya bingung menabuh bedug
Sambil berdiri memancing lindung
Katanya gunung pada meledug
Abunya mumbul gulung bergulung
Cemara panjang bersih mengilat
Bawa ditenteng iket gurita
Ada antara masih melihat
Sigranya dateng gelap gulita
Wira-wiri kudanya lari
Pake bedak darilah pagi
Ilahi robbi gelapnya ini
Sampe tidak melihat lagi
Tergambar dalam syair, saat itu Batavia (sekarang Jakarta) begitu gelap. Semua pandangan mata tertutup oleh abu vulkanik pekat yang berasal dari letusan Gunung Krakatau. Bisa dibayangkan betapa besarnya bencana yang dialami kala itu. Cerita ini dapat kita nikmati sekaligus menjadi refleksi untuk menghadapi ancaman bencana gunung api. (LS)
Sumber:
https://dapobas.kemdikbud.go.id/homeshow=isidata&id=920
Photo: kebudayaan.kemdikbud.go.id