Disasterchannel.co – Daerah Banten merupakan daerah yang memiliki potensi bencana yang besar, di balik itu semua terdapat pula pengetahuan lokal yang terus dilestarikan secara turun-temurun, salah satunya mengenai mitigasi bencana. Pengetahuan lokal merupakan pengetahuan yang khas dimiliki suatu masyarakat atau budaya tertentu yang telah berkembang lama sebagai hasil dari proses hubungan timbal balik antara masyarakat dan lingkungan.[1] Interaksi manusia dan alam sebagai tempat tinggalnya menjadikan cerita yang terus bergulir hingga menghasilkan pembelajaran dari setiap pengulangan atau respon yang diberikan manakala manusia memperlakukan alam. Hal ini tak terlepas dari bagaimana manusia berinteraksi dengan alam dalam sebuah kejadian bencana. Pembelajaran dari pengetahuan lokal yang tumbuh dan berkembang, secara alamiah menjadikan masyarakat Banten memiliki cara tersendiri untuk memanajemen bencana atau mengurangi risiko dari bencana yang akan terjadi, konsep ini sejalan dengan mitigasi bencana.
Melalui tradisi yang tumbuh dari pengetahuan lokal, masyarakat Banten merepresentasikan tindakan mitigasi bencana. Hal ini tercermin dalam pembuatan rumah dan pemilihan lahan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy. Masyarakat Baduy selalu mengikuti pesan-pesan dari leluhur dalam menjalani setiap kehidupannya. Terdapat beberapa ketentuan yang berasal dari leluhur dan terus dijalankan hingga kini. Rumah-rumah yang di bangun di daerah Baduy adalah rumah panggung dengan kerangka dibuat dari kayu yang telah direndam berbulan-bulan. Lantai terbuat dari bambu yang dibelah kecil-kecil, dinding dibuat dari anyaman bambu, sementara atap dibuat dengan anyaman rumbia atau serabut kepala. Semua bagian dari rumah berasal dari alam dan sebagian besar memanfaatkan pohon bambu. Terdapat larangan untuk membuat jendela dan memakai kaca pada bagian rumahnya. Ada pula larangan menggunakan paku dan logam lainnya bagi orang Baduy dalam, sementara di Baduy luar diperbolehkan.
Dalam pembangunan rumah, masyarakat Baduy selalu menyesuaikan dengan kontur tanah. Bila rumah terletak pada tanah yang miring, maka kayu-kayu pondasi rumah akan dipasang hingga sedekimkian rupa menjadi lantai yang rata. Terdapat aturan leluhur yang berbunyi: Lojor teu meunang dipotong pondok teu meunang disambung gede teu meunang dicokot leutik teu meunang ditambah yang artinya panjang tidak boleh dipotong pendek tidak boleh disambung besar tidak boleh diambil Kecil tidak boleh ditambah. Aturan inilah yang dipakai dalam pembuatan rumah.
Desain rumah merupakan rumah panggung dengan tinggi lantai rumah dari permukaan tanah sekitar 30-50 cm. Desain bangunan seperti ini sangat cocok bila disesuaikan dengan ancaman-ancaman bencana yang ada di daerah ini seperti banjir dan gempa. Sebagian besar material berbahan dasar bambu. Bambu memiliki banyak manfaat di antaranya adalah dapat meningkatkan volume air bawah tanah, konservasi lahan, perbaikan lingkungan dan sifat batang yang kuat, keras, ulet, mudah dibelah dan mudah dibentuk, sifat-sifat ini yang dimanfaatkan sebagai bahan bagunan tahan gempa[2]. Bambu memiliki kekuatan sisa tinggi untuk menyerap pangaruh guncangan dan sangat cocok sebagai bahan bangunan rumah untuk melawan angin dan seismik yang tinggi.[3] Oleh sebab itu jarang ditemukan kerusakan di area Baduy bila terjadi gempa, tidak seperti kampung-kampung di sekeliling Baduy yang mengalami kerusakan pasca gempa menurut keterangan Bapak Ijom Ketua RT 02 Baduy Luar, Desa Kanekes.
Beberapa ketentuan pengelolaan lahan pun diatur oleh leluhur. Rumah-rumah di Baduy hanya diperbolehkan menghadap ke Utara dan Selatan. Pola pemukiman sunda kuno tertuang dalam naskah kuno yang berjudul Warungan Lemah. Amanat-amanat ini masih dijalankan di Desa Kanekes. Terdapat topografi Talaga Hangsa, yaitu pemukiman yang terletaknya condong miring ke sebelah kiri atau ke utara. Hal ini sesuai dengan prilaku masyarakat Baduy yang melarang mengembangkan wilayah pemukimannya ke sebelah selatan yang merupakan puncak Gunung Kendeng, daerah ini adalah tempat para leluhur leluhur orang Baduy.[4] Tata letak pemukiman diatur sedemikian rupa dan secara turun-temurun dilakukan oleh masyarakat Baduy sebagai perwujudan bahwa mereka yang sangat menghormati para leluhurnya.
Betapa arifnya masyarakat Baduy dalam menjalani kehidupan, bahkan dalam memilih tempat, tata letak bangunan dan material untuk hunian. Pengetahuan lokal yang mereka miliki dengan memanfaatkan alam secara bijaksana yang tertuang dalam huniannya mempunyai filosofi dan manfaat yang tak lekang oleh waktu. Tantangan bagi generasi masa kini untuk dapat mengadopsi pengetahuan lokal dan disesuaikan dengan dimensi zaman yang ada agar tercipta sebuah tindak mitigasi yang tepat. (LS)
[1] Ade M. Kartawinata, 2011
[2] Widnyana. Bambu dengan Berbagai Manfaatnya. Fakultas Pertanian Universitas Mahasaraswati Denpasar
[3] Ni Komang A. Pemanfaatan Bambu Pada Konstruksi Bangunan Berdampak Positif Bagi Lingkungan. Universitas 17 Agustus 1945 Semarang
[4] Dedi Supriadi, Mardani, 2018. Mitigasi Spiritual: Makna Simbolis Bencana Alam dan Penanggulangannya. Kumpulan Makalah Hasil Kajian Tematik Manuskrip Keagamaan Nusantara.