Disasterchannel.co,- Dikelilingi lautan yang luas dan indah, menjadikan daerah Nusa Tenggara Timur memiliki pengetahuan atau kearifan lokal menjaga dan mengelola sumber daya laut.
Laut menjadi sesuatu yang memiliki esensi penting bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur. Untuk terus hidup, seseorang harus menempuh jalan yang dikehendakinya, yang baru-baru ini sering kita sebut sebagai istilah jalan ninja. Masyarakat Nusa Tenggara Timur memiliki jalan ninja tersendiri untuk tetap mengelola sumber daya laut secara berkelanjutan melalui kearifan lokal yang disebut lilifuk.
Lilifuk sendiri merupakan suatu kawasan di perairan laut yang berbentuk kolam yang tergenang pada saat air laut surut. Secara etimologi, lilifuk berasal dari bahasa Dawan (bahasa Suku Timor), yaitu kata „nifu‟ yang berarti kolam. Disebut kolam karena lilifuk merupakan sebuah cekungan di permukaan dasar perairan pantai yang digenangi air pada saat surut tertinggi. Lilifuk dipenuhi dengan padang lamun yang kaya akan ikan lada (banonang) dan ikan dusung yang berada di tepi laut. Cekungan ini menyerupai kolam yang berukuran besar dengan kedalaman maksimum 5 (lima) meter dan luasnya mencapai ± 20.000 m2.
Lilifuk terus berkembang hingga menjadi salah satu pengelolaan sumber daya perikanan Community Based Management (CBM) yang berupa pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumber daya kelautan dan perikanan sendiri dengan memperhatikan kebutuhan, keinginan, tujuan dan aspirasinya.
Daerah yang masih menerapkan lilifuk di antaranya adalah masyarakat di wilayah pesisir Teluk Kupang. Lilifuk menjadi salah satu kearifan lokal yang telah ada sejak lama dan diterapkan dengan tujuan untuk mendukung pengelolaan atau konservasi pesisir dan laut secara berkesinambungan melalui penangkapan ikan dengan alat dan cara ramah lingkungan.
Sejarah mengenai lilifuk umumnya diketahui masyarakat dari orang tua, masyarakat, dan kerabat. Menurut persepsi masyarakat, Lilifuk diwariskan oleh leluhur sejak tahun 1950 hingga sekarang dan dijaga oleh beberapa suku, dan kemudian pada saat panen maka akan dipanen oleh seluruh masyarakat sekitar melalui penyebaran undangan.
Kepemilikan lilifuk oleh suatu suku tertentu adalah karena sejarah awalnya ditemukan wilayah tersebut oleh salah satu anggota suku tersebut sehingga dapat diklaim sebagai miliknya secara adat. Kesepakatan untuk menutup daerah tersebut dilakukan atas keinginan bersama dan diprakarsai oleh tokoh adat, pemerintah desa, tokoh agama serta masyarakat.
Penangkapan ikan pada saat dibukanya Lilifuk dilakukan oleh masyarakat desa maupun dari luar desa tersebut. Penangkapan ikan tersebut biasanya dilakukan dalam dua hari tergantung dari keputusan pemilik lilifuk. Pembukaan lilifuk biasanya dimulai dengan pesta adat dan ritual agama sebelum dilakukannya panen ikan di wilayah tersebut.
Pada saat air laut surut, lilifuk akan dipenuhi dengan berbagai biota laut yang terjebak di dalamnya. Biota tersebut antara lain ikan lada, ikan dusung, dan berbagai jenis rumput laut. Ketetapan mengenai pengelolaan lilifuk dibuat oleh Suku Baineo sebagai tuan tanah (pah tuaf) atau pemilik dari lilifuk.
Jalan ninja masyarakat Nusa Tenggara Timur dengan mengamalkan hukum adat lilifuk dengan memperhatikan kelestarian ekosistem pesisir, sangat besar pengaruhnya. Lilifuk memiliki berbagai macam manfaat bagi masyarakat yang mengamalkannya. Masyarakat dapat merasakan manfaat dari mulau aspek ekonomi, sosial maupun lingkungannya, karena pengelolaannya yang berlandaskan pada keberlanjutan. (LS)
Sumber:
Yulisti, M., Kurniasari, N., & Yuliaty, C. (2014). Analisis Keberlanjutan Lilifuk: Tinjauan Persepsi Masyarakat Lokal. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan, 9(1), 92-103.
Hasriyanti, H., Saputro, A., & Isromi, A. KEARIFAN LOKAL LILIFUK DI NUSA TENGGARA TIMUR DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT BERKELANJUTAN. Jurnal Environmental Science, 4(1).
Photo: ekuatorial.com