Beginilah Cara Masyarakat Adat Tigo Luhah Kemantan dalam Mengelola Hutan

PUBLISHED

Disasterchannel.co,- Menghirup udara segar di hutan yang termasuk dalam Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, rasanya begitu nikmat. Udara menyegarkan ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan udara ibukota dan daerah penyangganya yang sudah tak sehat lagi. Setiap partikel udara yang dihirup seolah menghidupkan kembali kerja sel-sel otak yang sempat terhambat. 

Kesegaran udara di Kawasan Pegunungan Kerinci juga tak bisa terlepas dari bagaimana manusia yang hidup di sekitarnya untuk menjaga kelestarian alam. Menyelami Kawasan Pegunungan Kerinci membuat kami menemui berbagai hal menarik, salah satunya tentang Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan. 

Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan (HATLK) merupakan salah satu hutan adat yang berada di Kecamatan Air Hangat Timur, Kab. Kerinci dengan kondisi yang masih sangat asri. HATLK pertama kali diresmikan secara langsung oleh menteri lingkungan hidup dan kehutanan Siti Nurbaya Bakar pada tahun 2016 dengan menerbitkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI No. SK. 6740/Menlhk-Pskl/Kum.1/12/2016 Tentang Penetapan pencantuman Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan seluas ±452 Hektar.

Wilayah HATLK ini berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat yang membuat hutan ini dapat dikelola oleh masyarakat adat secara berdaulat. Masyarakat adat setempat memiliki cara tersendiri dalam mengelola hutan, beberapa di antaranya bersumber dari pengetahuan lokal yang mereka miliki. Masyarakat Adat Enam Desa Kemantan dalam pengelolaan HATLK dengan membentuk pengurus hutan adat juga tidak terlepas dari peran penting lembaga adat. Peran Lembaga adat sangat besar untuk mengatur dan mengawasi berjalannya interaksi manusia dengan lingkunganya. Lembaga adat yang memiliki wewenang untuk mengatur pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan di antaranya adalah Depati, Pemangku, Ninik Mamak/Pateh/Rio, dan Hulubalang yang masing-masing mempunyai peran dan fungsi yang berbeda. 

Pengetahuan lokal mengenai pengelolaan lingkungan direpresentasikan Masyarakat Adat Enam Desa Kemantan dalam bentuk hukum adat yang berisi peraturan, bila dilanggar akan mendapat sanksi. Terdapat pula sistem pembagian zona pemanfaatan hutan, yaitu; zona merah kawasan hutan konservasi, hijau kawasan hutan lindung dan kuning kawasan hutan produksi. Semua memiliki kewajiban untuk menjalankan aturan yang ada. Mereka meyakini bahwa setiap orang yang melanggar aturan-aturan mengenai HATLK, akan terkena “Jukat” (malapetaka). Agar dapat terhindar dari jukat maka orang tersebut harus dikenakan hukum adat yang berlaku.

Menariknya, Masyarakat Adat Enam Desa Kemantan memiliki kepercayaan terhadap daerah larangan yang disebut “Tapok gagah” atau diartikan sebagai tempat gagah. Tapok gagah merupakan tempat larangan bagi masyarakat untuk beraktifitas atau menggarap lahan. Selain itu, terdapat istilah “fila” yang dipercayai masyarakat merupakan daerah habitat harimau. Area ini dihindari oleh masyarakat sebab ancaman diyakini terdapat ancaman binatang buas. Pengetahuan lokal ini secara tidak langsung dapat melindungi berbagai macam flora dan fauna yang ada disana dan turut andil dalam menjaga keseimbangan ekosistem. (LS)

Sumber: 

Novianti, L. E., Hamzah, H., & Hariyadi, B. (2022). Kearifan lokal pengelolaan hutan adat oleh masyarakat adat Tigo Luhah Kemantan Kabupaten Kerinci. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi22(1), 261-265.

Photo: villagerspost.com