Disasterchannel.co,- Dinginnya pagi di akhir bulan desember, membuat daya pikat kata-kata ini begitu kuat, terlebih banyak sekali kejadian bencana yang terjadi di akhir tahun ini.
Kata-kata itu adalah “Mitos bahwa bencana adalah “penyeimbang yang hebat” dan tidak ada yang terhindar dari kemarahan alam.”
Di satu sisi mungkin kita akan membenarkannya, namun bila berpikir lebih dalam, mitos ini tidaklah tepat. Bencana akan lebih sulit dilalui oleh mereka yang hidup dalam kemiskinan, di dekat lokasi berbahaya, seperti zona potensi tanah longsor, di lereng gunung berapi atau zona seismik lainnya karena tidak berdaya untuk memilih lokasi aman dan terjangkau untuk rumah mereka. Semua ini membuat mereka lebih mungkin menghadapi beban bencana yang brutal. Semua bergantung pada kerentanan yang dimiliki oleh masing-masing individu. Situasi yang mereka rasa juga bergantung pada kapasitas mereka untuk mengantisipasi, mengatasi, melawan, dan memulihkan diri dari dampak bahaya alam.
Meskipun mengalami bencana yang sama, tetapi setiap orang mengalami dampak krisis yang berbeda. Ada banyak ragam reaksi dan perasaan yang dipunyai oleh setiap orang. Banyak orang mungkin merasa kewalahan, bingung, atau sangat tidak memahami apa yang sedang terjadi. Mereka dapat merasa sangat takut atau cemas, atau kaku karena ketakutan dan memiliki keinginan untuk melepaskan diri dari situasi tersebut. Sebagian individu mungkin dapat bereaksi dalam kadar yang sedang, sementara individu lainnya dapat bereaksi lebih intens. Bagaimana seseorang bereaksi atas kejadian krisis akan bergantung pada beberapa faktor, di antaranya adalah :
- Pengalaman mereka dengan kejadian buruk sebelumnya;
- Dukungan yang mereka dapatkan dari orang lain dalam hidup mereka;
- Kesehatan fisik mereka;
- Riwayat kesehatan mental pribadi maupun keluarga mereka;
- Latar belakang budaya dan tradisi-tradisi;
- Usia mereka (contohnya: anak-anak dari masa kanak awal, menengah, dan akhir akan bereaksi secara berbeda terhadap kejadian krisis).
Karena perbedaan ini, maka ada beberapa orang yang membutuhkan bantuan lebih untuk menyelesaikan tantangan hidupnya. Salah satu bantuan menghadapi kejadian krisis adalah Pertolongan Psikologis Pertama (P3) atau Psychological First Aid (PFA).
Psychological First Aid dideskripsikan sebagai sebuah respons yang bersifat manusiawi dan suportif kepada sesama manusia yang sedang menderita atau memerlukan dukungan. Respons dan dukungan yang termasuk di dalam kajian PFA adalah hal-hal berikut ini:
- Memberikan perawatan dan dukungan yang praktis, namun tidak menginterupsi;
- Mencanangkan kebutuhan dan hal-hal yang harus diperhatikan;
- Membantu orang-orang untuk mendapatkan akses terhadap kebutuhan dasar (contohnya: makanan dan minuman, informasi);
- Menjadi pendengar, namun tidak memaksa mereka untuk berbicara;
- Menghibur orang-orang dan membantu mereka merasa tenang;
- Membantu orang-orang untuk terhubung pada penyedia informasi, layananlayanan lain, dan sosial;
- Melindungi orang-orang dari bahaya yang lebih lanjut;
PFA diperuntukkan untuk orang-orang yang berada dalam suatu kondisi tertekan dan tidak menyenangkan, dan baru saja mengalami kejadian yang sangat kritis dan mencekam. PFA dapat dilakukan pada anak-anak ataupun orang dewasa. Jangan memaksakan diri untuk memberikan bantuan ini kepada mereka yang tidak menghendakinya. Karena perbedaan merespon situasi krisis membuat PFA belum tentu dibutuhkan semua orang. (LS)
Sumber:
Margaretha & Dita Kencana Sari. PERTOLONGAN PSIKOLOGIS PERTAMA Panduan bagi Relawan Bencana, 2020. Penerbit Airlangga University Press https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/44615/9789241548205-ind.pdf
Photo: apa.org