“Bencana Alam”: Salah Kaprah Pemberian Istilah

PUBLISHED

Disasterchannel.co,- Tanpa sadar kita dicekoki oleh berbagai macam informasi mengenai bencana dengan pemilihan kata-kata yang terkadang kurang tepat. Misalnya saja pemberitaan tentang peristiwa banjir yang menyebabkan bencana. Hujan lebat yang terjadi dalam beberapa hari secara berturut-turut juga dikatakan sebagai sebabnya. Apakah hujan yang menyebabkan bencana?, tentu tidak!. Semua kalimat ini memang terlihat biasa, tapi tidak banyak yang sadar bahwa kalimat ini adalah sebuah kalimat yang keliru. 

Sampai saat ini, banyak di antara kita yang cenderung menyalahkan alam dalam proses penderitaan yang dialami oleh manusia. Sama seperti istilah bencana alam. Banyak sekali literatur, kabar berita ataupun laporan yang menggunakan kata bencana alam. Istilah ini seolah mengisyaratkan bencana terjadi karena fenomena alam. Istilah bencana alam juga biasanya dipakai oleh beberapa orang untuk menyebutkan bencana yang terjadi dengan kejadian alam sebagai pemicunya. 

Namun, bila kita perhatikan definisi bencana menurut United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNDRR) “gangguan serius terhadap fungsi suatu komunitas atau masyarakat pada skala apa pun karena peristiwa berbahaya yang berinteraksi dengan kondisi keterpaparan, kerentanan dan kapasitas, yang menyebabkan kerugian dan berdampak pada manusia, material, ekonomi, dan lingkungan.”

Bila kita memahami lebih dalam pengertian bencana menurut UNDRR, maka istilah bencana alam tidaklah tepat. Sebab, bencana terjadi karena interaksi antara ancaman (hazard) dengan kondisi keterpaparan, kerentanan dan kapasitas yang dimiliki manusia. Suatu peristiwa tidak dapat dikatakan sebagai bencana bila tidak ada interaksi dari komponen tersebut sehingga tidak menimbulkan gangguan serius ataupun kerugian. 

Misalnya saja, terdapat peristiwa letusan gunungapi di pulau kecil tak berpenghuni yang letaknya jauh dari pulau manapun. Fenomena ini tidak bisa dikatakan sebagai bencana ataupun bencana alam. Sebab, tidak ada interaksi antara ancaman dengan kondisi keterpaparan, kerentanan dan kapasitas, yang berdampak pada manusia.

Pemikiran mengenai bencana bukanlah kejadian alam adalah bukan hal baru. Argumentasi mengenai bencana bukanlah sesuatu yang alami sudah muncul pada abad ke delapan belas. Bahkan, akademisi juga mempertanyakan selama lebih dari 40 tahun bagaimana “alam” yang dapat disebut “bencana alam”. 

Kampanye mengenai tidak tepatnya istilah “bencana alam” mulai berkembang. Kampanye yang mengusung tanda pagar #NoNaturalDisasters dibangun berdasarkan kerja dan penelitian selama puluhan tahun yang dilakukan oleh para praktisi dan akademisi pengurangan risiko bencana. Tujuan dari kampanye ini adalah untuk mengubah terminologi yang menunjukkan bahwa meskipun beberapa bahaya bersifat alami dan tidak dapat dihindari, namun bencana yang diakibatkannya hampir selalu disebabkan oleh tindakan dan keputusan manusia.

Dalam konteks lokal, Indonesia yang memiliki risiko bencana tinggi. Terdapat banyak sejarah bencana yang tercatat dari masa ke masa setelah peradaban mengenal budaya tulis. Bahkan pengalaman menghadapi bencana yang terus-menerus berulang membuahkan sebuah pengetahuan yang sifatnya lokal. Pengetahun lokal hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari cerita, dongeng, tradisi, hingga aturan adat yang menyuratkan bentuk mitigasi bencana. 

Setelah kami (disasterchannel.co) mengumpulkan serta mendokumentasikan pengetahuan lokal dan ingatan kolektif tentang bencana dari hari ke hari. Kami menemukan bahwa istilah “bencana alam” adalah kata yang tidak tepat. Misalnya: pengetahuan lokal yang direpresentasikan dalam nama tempat (toponimi) suatu daerah, mengisyaratkan pesan leluhur sebagai penanda bahaya.

Kelurahan Balaroa di Kota Palu, Sulawesi Tengah adalah salah satu wilayah yang mengalami dampak parah dari bencana yang dipicu oleh gempa yang menyebabkan likuifaksi pada 28 September 2018. Nama Kelurahan Balaroa, dahulu kawasan ini disebut “Tagari Lonjo” yang dapat diartikan “terbenam dalam lumpur”. Pengetahuan lokal dalam penamaan wilayah Tagari Lonjo mulai pudar, bahkan diabaikan, dan tidak dijadikan sebagai pertimbangan dalam pembangunan. Hingga Perumahan Nasional (Perumnas) Balaroa didirikan sekitar tahun 1980. Akibatnya, sekitar 1.400 rumah rata dengan tanah dan banyak orang meninggal dunia. Pengetahuan lokal menggambarkan ancaman bencana dengan sangat jelas. Namun, manusia yang tidak memperhatikan pengetahuan tersebut yang menjadikan bahaya berubah menjadi bencana.

Kejadian di atas adalah salah satu bukti bahwa ungkapan bencana alam adalah sebuah kekeliruan. Dalam penelitian Chmutina et al 2019 menyebutkan bahwa ungkapan “bencana alam” memutus realitas kelompok yang paling rentan dengan terus-menerus menyalahkan “alam” dan meletakkan tanggung jawab atas kegagalan pembangunan pada fenomena alam “yang aneh” atau “tindakan Tuhan”.

Penting bagi kita untuk memahami bencana secara utuh agar tidak terjebak dalam istilah yang salah kaprah. Dalam rangkaian penanggulangan bencana (pra-bencana, saat bencana, pasca-bencana), kita dapat melakukan pengurangan risiko bencana dengan mengurangi kerentanan dan keterpaparan terhadap ancaman. Keputusan inilah yang sangat penting untuk mengurangi kerugian. Sudah cukup sampai di sini kita menyalahkan alam atas penderitaan yang kita alami. (LS)

Sumber:

Chmutina, K., & Von Meding, J. (2019). A dilemma of language:“Natural disasters” in academic literature. International Journal of Disaster Risk Science10, 283-292.

https://www.nonaturaldisasters.com/