Kenalan Lebih Dekat dengan Ekspedisi Jawadwipa

PUBLISHED

Disasterchannel.co,- Seperti hidup di atas naga yang sedang tertidur, rasanya itu ungkapan yang tepat bagi kita yang hidup di Pulau Jawa. Bayangkan, rumah kita berada tepat di atas naga yang kapan saja bisa mengamuk dan menyerang kita. Analogi ini sepertinya tepat untuk membayangkan betapa bahayanya hidup di atas sesar aktif penyebab gempa. 

Berdasarkan tatanan seismotektoniknya, Pulau Jawa ini merupakan bagian dari satuan seismotektonik busur sangat aktif dan busur aktif. Tektonik regional wilayah Jawa dikontrol oleh tektonik tunjaman selatan Jawa. Akibat tunjaman tersebut terbentuk struktur-struktur geologi regional di wilayah daratan Jawa. Risiko bahaya gempa bumi sangat ditentukan oleh kepadatan penduduk dan infrastruktur di suatu wilayah yang telah dinyatakan rawan bencana dan risiko gempa bumi.

Terlebih Pulau Jawa merupakan wilayah Indonesia yang paling padat penduduk. Jumlah penduduk di Jawa berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat sebanyak 10.576,4 ribu jiwa. Kepadatan penduduk yang tinggi dan banyaknya infrastruktur yang dibangun menambah kerentanan yang dimiliki wilayah Jawa.

Bukti dari betapa berisikonya tinggal di Pulau Jawa dapat dilihat dari rentetan sejarah gempa yang ada. Wilayah Sukabumi terdapat sesar Cimandiri yang sering mengalami gempa dan pernah terjadi gempa pada tahun 2000. Wilayah Majalengka terdapat sistem Sesar Baribis di Majalengka terbukti dengan adanya gempabumi pada tahun 1990 dan 2001 di daerah Talaga. 

Bergeser ke daerah Jawa Tengah, terdapat sejarah gempa di Semarang pada 19 Januari 1856. Bergeser kembali ke arah timur maka dapat melihat gempa Pati pada 12 Desember 1890. Gempa juga pernah terjadi di daerah Wonosobo pada 9 November 1924.

Belum lama terjadi, gempa merusak melanda Yogyakarta pada 27 Mei 2006. Gempa ini menewaskan 5.048 jiwa. Beberapa gempa besar juga terjadi di Jawa Timur. Gempa merusakan terjadi di wilayah Malang pada 20 November 1958. Gempa di Situbondo pada 10 September 2007. Jauh sebelumnya gempa pernah melanda wilayah Mojokerto pada 22 Maret 1836. 

Berkaca dari sejarah yang ada menghasilkan ide tak terduga. Dahulu Jawa dikenal dengan daerah yang memiliki tanah yang subur dan rakyat yang makmur. Kata JawaDwipa muncul merepresentasikan tanah surga ini dengan segala keindahan alam yang ada di dalamnya. Kata kata Jawadwipa tertera dalam naskah Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa.

JawaDwipa menjadi kata yang tepat dan dipilih untuk nama ekspedisi yang dilakukan oleh disasterchannel.co, yayasan Skala bekerjasama dengan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI). Berlandaskan dari nama ini, kita yang tergabung di dalamnya ingin kembali menguak kisah-kisah mengenai gempa pada masa lalu. Sebab bencana diyakini berpengaruh pada peradaban yang terus berkembang di Pulau ini.  Ekspedisi JawaDwipa sendiri merupakan kerjasama BNPB, Skala dengan dukungan Siapsiaga

Ekspedisi JawaDwipa memiliki beberapa tujuan mulia, di antaranya:

  • Menyusuri jejak dan tanda alam akibat aktivitas sesar dan sejarah gempabumi yang pernah terjadi di Pulau Jawa
  • Mendokumentasikan dan mengarsipkan pengetahuan lokal mengenai bencana, potensi wisata dan budaya sebagai pembelajaran untuk menghadapi bencana dan sarana edukasi berbasis wisata
  • Mendokumentasikan tatakelola sumber daya alam berbasis kearifan lokal sebagai rekomendasi strategi mitigasi bencana dan potensi wisata
  • Memberikan pemahaman terkait dengan ancaman bencana yang ada di sekitar dan memetakan kapasitas masing-masing wilayah dalam menghadapi ancaman tersebut
  • Membuat wadah diskusi dan pengenalan budaya dan potensi wilayah dalam wadah pertunjukan seni dan pesta rakyat

Menyusuri jejak sejarah gempa dan mengumpulkan ingatan kolektif masyarakat mengenai gempa adalah sebuah hal yang menarik dalam ekspedisi ini. Sebab pengalaman menghadapi gempabumi yang dialami oleh warga tidak terdokumentasikan dengan baik selama ini. Padahal, ini merupakan suatu hal dapat dipelajari oleh banyak orang. Interaksi manusia dan alam sebagai tempat tinggalnya menjadikan cerita yang terus bergulir, hingga menghasilkan pembelajaran dari setiap pengulangan atau respon yang diberikan manakala manusia memperlakukan alam. Hal ini tak terlepas dari bagaimana manusia berinteraksi dengan alam dalam sebuah kejadian bencana. 

Bila kita melihat Sendai framework, terdapat kalimat berikut:

Prevent new and reduce existing disaster risk through the implementation of integrated and inclusive economic, structural, legal, social, health, cultural, educational, environmental, technological, political and institutional measures that prevent and reduce hazard exposure and vulnerability to disaster, increase preparedness for response and recovery, and thus strengthen resilience.Sejalan dengan tujuan yang diamanatkan pada Sendai framework, maka dirasa penting untuk mengurangi risiko bencana dengan mendorong pengumpulan data dan informasi risiko dengan data berbasis lokal. Melalui pengumpulan data dari perjalanan ekspedisi JawaDwipa ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi pengurangan risiko bencana yang tepat, sesuai, efisien dan dapat diterima oleh masyarakat lokal. (LS)