Disasterchannel.co,- Tulisan ini datang dari Hartini Diah Setiowati, ia adalah peserta peringkat ke-sembilan dalam lomba menulis bertema “Aku dan Sungai” yang diadakan oleh disasterchannel.co. Dalam tulisannya, Diah menceritakan mengenai kehidupan masyarakat di bantaran Sungai Ciliwung. Mari kita simak cerita Diah dalam tulisan berikut:
Air merupakan pusat kehidupan seluruh makhluk di bumi termasuk manusia di dalamnya. Dari masa ke masa manusia tak bisa lepas dari memanfaatkan air, tak terkecuali bagi masyarakat sekitar Sungai Ciliwung. Eksistensi Sungai Ciliwung sangat mempengaruhi kehidupanku sebagai anggota dari masyarakat urban. Pada dasarnya Sungai ciliwung memiliki dua mata pisau.
Ketika musim hujan, Sungai Ciliwung sering dijadikan kambing hitam atas terjadinya banjir dan masalah kesehatan akibat sanitasi yang buruk. Namun, ketiadaan sungai ini akan merugikan masyarakat yang notabennya makhluk yang sangat bergantung pada air. Normalisasi terhadap sungai ini terus dilakukan sejak tahun 1921, di mana Pemerintah Batavia melakukan perbaikan sanitasi karena buruknya kondisi sungai ini hingga saat ini.
Hingga detik ini Sungai Ciliwung masih belum ternormalisasikan. Jika ditarik ke akar permasalahannya, maka akan tampak gunung es. Industrialisasi, budaya kapitalisme, dan neoliberalisme menjadi salah satu puncak gunungnya. Ketiga aspek ini telah menggerogoti masyarakat urban bagaikan kanker.
Meskipun ketiga hal ini ada di berbagai lini masyarakat, namun tumbuh kembang yang pesat terjadi di tubuh masyarakat urban. Ketiga aspek tersebut telah memaksa masyarakat urban untuk masuk ke dalam kebiasaan konsumtif dan ketergantungan pada produk instan serba cepat. Normalisasi Sungai Ciliwung tidak akan pernah memperbaiki sungai itu. Permasalahan sebenarnya ada pada perilaku manusia yang menyebabkan sungai tercemar.
Kebiasaan konsumtif dan ketergantungan ini tidak disertai dengan kesadaran akan kelestarian lingkungan sungai. Hasil darinya pun akan mempengaruhi Sungai Ciliwung, seperti sampah anorganik dan organik, limbah industri, limbah dari tempat usaha, dan limbah rumah tangga yang dibuang ke Sungai Ciliwung. Tidak adil sekiranya jika Sungai Ciliwung yang selalu disalahkan tanpa adanya usaha untuk mengubah kebiasaan konsumtif ini.
Hal ini diperkuat melalui hasil penelitian ilmiah bahwa di dalam Sungai Ciliwung terkandung tingginya konsentrasi BOD-COD, amonia, fosfat, deterjen, dan bakteri coli. (Satmoko Yudo:2010) Tingginya konsentrasi ini terindikasi disebabkan oleh pencemaran yang tidak hanya dilakukan di wilayah Jakarta tetapi juga di wilayah Depok maupun Bogor. Selain itu, pencemaran ini dapat dilihat secara kasat mata di sekitar Sungai Ciliwung, di bagian hilir, maupun di pintu airnya. Limbah-limbah ini akan mengarah ke Pantai Utara Jakarta dan tersebar di laut lepas.
Kebiasaan konsumtif dan ketergantungan ini seperti efek domino, di mana semakin banyak yang dikonsumsi maka akan semakin banyak limbah yang dihasilkan. Semakin banyak limbah yang dihasilkan, maka pencemaran Sungai Ciliwung semakin meningkat. Semakin banyaknya pencemaran akan ada semakin banyak bencana yang terjadi.
Jika dilihat dari sudut pandang ekofeminisme, Sungai Ciliwung telah diperkosa berkali-kali oleh kesewenang-wenangan. Bagaikan budak yang hanya dimanfaatkan tanpa mendapatkan hak-haknya. Sungai Ciliwung tak dapat hanya dianggap sebagai benda bertuan, namun sungai ini adalah bagian dari kehidupan yang memiliki hak untuk hidup.
Kerentanan sungai ini bagaikan kerentanan perempuan di tengah-tengah budaya patriarki. Sikap diskriminatif yang dialami keduanya haruslah dihilangkan, karena keduanya memiliki hak untuk hidup dan setara. Bencana banjir dan kesehatan yang diakibatkan oleh sungai ini merupakan sinyal bahwa sungai ini sedang mengalami diskriminatif. Selain itu, kepunahan terhadap hewan di dalamnya menjadi kesalahan kita bersama.
Bencana ini merupakan bentuk perlawanan terhadap apa yang selama ini mereka terima. Ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan terhadap Sungai Ciliwung telah menancapkan berbagai banyak luka yang membusuk. Manusia, hewan, dan tumbuhan merasakan dampak dari hal ini.
Upaya perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah pun terbukti tidak efektif. Meskipun berbagai regulasi telah dibentuk dan normalisasi telah dilakukan, hal itu tidak dapat mengatasi pencemaran Sungai Ciliwung. Di dalam implementasinya pun pemerintah hanya fokus pada sungai sebagai pelaku bukan sebagai korban.
Sama halnya seperti yang dilakukan oleh masyarakat urban yang hanya fokus menyalahkan korban tanpa menyadari bahwa dirinyalah pelaku. Masyarakat urban seakan-akan lupa akan pengorbanan dari Sungai Ciliwung bahwa selama ini sanitasi, kebutuhan air minum, perkembangan pertanian, industri, dan perikanan telah dipenuhinya.
Upaya sosialisasi dan penyuluhan terhadap pentingnya menjaga sungai sebagai penanganan dan mitigasi bencana sangat penting untuk dilakukan. Kesadaran di dalam diri masyarakat urban wajib ditumbuhkan untuk menanggulangi kerentanan sungai ini. Pemulihan terhadap sungai ini bukan hanya menjadi kewajiban pemerintah, namun ini juga menjadi tugas kita bersama.
Eksistensi sungai ini secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan banyak makhluk di masa sekarang maupun mendatang. Alam tidak pernah mengkhianati manusia, namun manusialah yang selalu mengkhianati alam. Mereka bereaksi sesuai dengan apa yang kita lakukan.
Apabila hal baik yang kita berikan kepada alam, maka hal baik yang akan mereka berikan pada kita. Namun, apabila hal buruk yang kita berikan padanya, maka hal buruk pula yang akan kita dapatkan. Oleh karenanya setiap 11 November selalu memperingati Hari Sungai Ciliwung untuk mengingat pengorbanan yang telah dilakukan oleh Sungai Ciliwung pada kita dan untuk mengingat keburukan yang telah kita lakukan padanya. Peringatan ini pun diperingati sebagai secercah harapan akan kesembuhan Sungai Ciliwung dan kesempatan bagi kita untuk memperbaikinya.
Photo: mongabay.co.id