Disasterchannel.co,- Kala senja tiba di Pantai Barat Donggala pada 28 September 2023, menjadi pertanda genap sudah lima tahun kejadian gempa, tsunami dan likuifaksi yang meluluhlantakkan Kota Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong. Masih banyak yang teringat betapa kencangnya gempa yang terjadi yang seketika membuat bangunan rata dengan tanah.
Kejadian gempa di masa depan adalah sebuah keniscayaan, sebab bumi selalu bergerak, sama halnya seperti kita yang terus bergerak dan tumbuh. Kemungkinan kejadian serupa dapat terjadi, namun apa yang bisa kita pelajari untuk bekal di masa depan?. Pertanyaan ini yang menjadi awal kunci bagi kami untuk mengadakan kegiatan “Nonton Bareng Peringatan 5 Tahun Gempa Padagimo”.
Kegiatan “Nonton Bareng Peringatan 5 Tahun Gempa Padagimo” diinisiasi Yayasan Skala Indonesia didukung oleh PT. Mandala Multifinance Tbk bertujuan untuk mengingat kembali kejadian bencana yang terjadi pada masa lalu di sepanjang Pantai barat Donggala dan memetik pelajaran dari masing-masing kejadian sejarah bencana yang ada. Beberapa narasumber yang masih hidup didatangkan untuk berbagi cerita dan pengalamannya menghadapi gempa dan tsunami pada tahun 1968, 1996 dan 2018.

Rustam M Syair, pria berusia 70 tahun membagikan pengalamannya menghadapi tsunami pada tahun 1968. Sekitar jam 4 pagi, tepatnya dua jam sebelum gempa terjadi, Rustam bangun dan mulai memperhatikan lingkungan sekitar. Saat itu ia merasa alam begitu sunyi, bahkan di pesisir Pantai yang biasanya banyak burung berkicau, saat itu tidak ada suara. Kucing peliharaannya pun berlarian kesana-kemari tak jelas tingkahnya.
Sekitar pukul 6 pagi, gempa besar mengguncang wilayah Pantai barat Donggala. Rustam menyaksikan semua barang-barang di rumahnya berjatuhan karena gempa bergoyang begitu kencangnya.
“Ada orang tua di situ bilang; lari semua, kalau ada gempa besar begini biasanya air laut naik” kata Rustam. Belum sempat berlari jauh dari Pantai, Rustam menyaksikan air laut sudah datang ke darat.
“Sebelumnya, air laut surut sekitar 50 meter, beberapa menit kemudian air naik sampai tingginya 8 meter, hempasan tsunami mencapai panjang 615 meter. Banyak orang yang meninggal, karena orang Selatan (nelayan) masih pada tidur kurang lebih ada 10 kapal. Korban meninggal itu lebih dari 249 orang, penduduk di situ yang jadi korban hanya 70 orang, sisanya orang Selatan” terang Rustam.
Dua jam setelah tsunami terjadi, Rustam dan beberapa orang yang selamat langsung diperintahkan oleh kepala Desa Labean pada saat itu untuk mencari dan mengumpulkan mayat. Proses pengumpulan semua mayat dapat diselesaikan dalam waktu tiga bulan.
“Selama 3 hari kita bertahan hidup diberikan makan dengan tetangga yang ada di Labean. Setelah tiga hari, baru ada bantuan dari Bupati Donggala dan rombongan bantuan dari Universitas Tadulako” kata Rustam.
Sepanjang hidupnya, Rustam sudah pernah mengalami beberapa kali gempa besar yang disertai tsunami. “Setelah kejadian tsunami 1968, kejadian di Tonggolobibi juga kami sempat mengungsi. Terjadi kembali (gempa dan tsunami) di 2018, rumah saya baru selesai dibangun sudah disambar gempa kembali. Jadi pengalaman ini membuat saya trauma, jadi kami mengungsi terus bila ada gempa besar” ucap Rustam.

Cerita pengalaman menghadapi gempa disusul tsunami kembali dilanjutkan oleh Hj Nurhan. Perempuan berumur 56 tahun ini begitu mengingat betul kejadian tsunami yang memporakporandakan kampung halamannya. Pada waktu itu Nurhan baru bangun dari tidur siang bersama dengan anaknya yang kedua. Setelah bangun, ia mencuci muka, kemudian masuk kembali ke rumah dan tiba-tiba tanah bergoyang dengan kuat.
“Saya melihat lemari goyang-goyang dan lainnya juga ikut goyang. Setelah itu saya keluar, dan menemui para tetangga. Semenatara ada orang dari pantai mengatakan ‘turun-turun, air naik’. Pada saat kita turun, abis sudah semua digilas air pantai” ungkap Nurhan.
Karena semua terjadi begitu cepat, anak kandung Nurhan yang berumur dua tahun tidak sempat memakai baju. Sementara anak pertamanya diselamatkan oleh pamannya yang bertemu di Masjid Tonggolobibi pada saat setelah magrib.
“Kita lari dari rumah tanpa alas kaki. Karena saya ingat anak saya telanjang, saya kembali ke rumah, semua pakaian di dalam rumah saya tidak ada yang benar, semua robek” sebut Nurhan.
“Saya ingat ketika saya kembali dari rumah, ada gerobak lewat, saya pikir itu barang-barang yang dibawa, ternyata isinya mayat yang terkena tsunami” tambah Nurhan.

Cerita kembali dilanjutkan dengan pengalaman Nilda Sofyana. Perempuan berumur 23 tahun ini bercerita mengenai pengalamannya menghadapi bencana gempa dan tsunami yang terjadi di Kota Palu saat ia mengenyam bangku kuliah.
Waktu gempa terjadi, Nilda sedang mengikuti kegiatan himpunan. Ia berada di belakang kursi sopir. Karena bergoyang begitu keras, Nilda berpikir mobilnya sudah melaju, namun setelah dilihat, tidak ada sopirnya. Ia baru sadar itu gempa ketika banyak orang yang berlarian menyelamatkan diri. Terdapat kabar dari kampusnya bahwa ada tsunami, oleh karenanya ia langsung menuju tempat tinggi.
Sebagai anak kost, Nilda bingung menanggapi kejadian bencana ini. “Perasaan saya bingung dan mempertanyakan apa yang telah terjadi” ungkap Nilda.
Nilda dan kawan-kawan kampusnya yang lain bertahan hidup dengan mencari makanan ke gudang yang ada di daerah Mamboro. Ketika menuju Gudang, Nilda melihat banyak bangunan runtuh. Tepat di bawah Gudang tempat ia mengambil makanan, ada banyak mayat yang belum dievakuasi berjajar di sana.
Nilda mulai merasa khawatir ketika sepupunya tidak bisa ditemukan. Ia mendapat cerita bahwa temannya ikut perhelatan ulang tahun Kota Palu dalam festival Palu Nomoni. Kesana-kemari Nilda mencari sepupunya namun tidak ia dapatkan. Sampai pada kesimpulan bahwa sepupunya telah tewas meskipun jenazahnya tidak bisa ditemukan, namun ada beberapa benda milik sepupunya yang ditemukan berbarengan dengan puluhan mayat lainnya dikubur massal.
Dari ketiga cerita ini, Lien Sururoh dari disasterchannel.co sebagai moderator menemukan beberapa hal menarik. Bapak Rustam, Ibu Hj Nurhan, sama-sama diberikan cerita mengenai tanda-tanda terjadinya tsunami berupa air surut sesaat setelah gempa terjadi. Cerita itu didapat dari orangtua pada zaman dahulu. Namun, generasi seperti Nilda tidak pernah dibekali cerita atau pengetahuan serupa.
Ada keterputusan informasi mengenai sejarah bencana, generasi muda tidak mendapatkan pengetahuan dan cerita mengenai tsunami masa lalu yang membuat kita bingung ketika mengalami gempa. Cerita-cerita dan informasi ini seharusnya tidak terputus untuk membangun kesiapsiagaan.

Muhammad Fikri, Kepala Bidang Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kab. Donggala menyampaikan bahwa kesiapsiagaan ini memang ditekankan untuk bisa membantu masyarakat dalam mempersiapkan mereka menghadapi bencana.
“Gempa dan tsunami itu siklus yang bisa berulang. Hidup di donggala diberikan kita tanah yang subur laut yang ikannya luar biasa, tapi juga diberikan potensi bencana dan itu yang harus disiapkan salah satunya dengan pelatihan kesiapsiagaan yang dilakukan oleh teman-teman Skala dan Mandala” ungkap Fikri.
Fikri kembali bercerita, terkadang kita suka menganggap remeh cerita dari para leluhur. Misalnya saja cerita mengenai tiga ombak besar (Bombatalu) sesaat setelah gempa. Cerita mengenai gunung yang bisa bergeser yang ternyata itu benar benar terjadi karena ada peristiwa likuifaksi. Atau cerita tanah turun yang bisa terjadi sesaat setelah gempa yang kita kenal sebagai downlift.

Cerita-cerita yang kita dapatkan pada hari ini sebenarnya adalah ilmu yang tidak terkira untuk mempersiapkan kejadian bencana yang mungkin bisa terjadi di masa depan. Melalui kegiatan Nonton Bareng Peringatan 5 Tahun Gempa Padagimo, diharapkan dapat menyebarluaskan pengetahuan kebencanaan kepada setiap generasi, agar tidak terjadi keterputusan informasi dari masa ke masa mengenai bencana.(LS)